Bagi pemain sepak bola stadion adalah panggungnya. Tempat mereka mengeluarkan segala kemampuan dan keahlian dalam mengolah si kulit bundar. Dengan segenap hati ia akan menampilkan permainan terbaiknya. Untuk hasil yang gemilang bagi klub, daerah atau negara yang dibelanya.
Sedangkan bagi seorang suporter, stadion adalah tempatnya mengapresiasikan segenap "cinta" pada klub, tim dan pemain yang didukung bahkan dipujanya. Dengan caranya masing-masing. Ada yang memakai kaos tim kesayangan, membawa spanduk dan atribut pendukung tim. Bahkan ada yang mencoret-coret tubuh dan wajah aneka rupa sebagai bukti kecintaannya pada tim kesayangan.
Dan saya termasuk salah satu suporter yang demikian itu. Untuk lingkup nasional, karena saya memiliki darah Jawa Timur dari Bapak dan pernah menikmati masa kecil di sana. Tepatnya di Surabaya. Tentu klub sepak bola yang saya dukung adalah PERSEBAYA SURABAYA. Dan tim nasional tentunya.
Sedangkan bagi seorang suporter, stadion adalah tempatnya mengapresiasikan segenap "cinta" pada klub, tim dan pemain yang didukung bahkan dipujanya. Dengan caranya masing-masing. Ada yang memakai kaos tim kesayangan, membawa spanduk dan atribut pendukung tim. Bahkan ada yang mencoret-coret tubuh dan wajah aneka rupa sebagai bukti kecintaannya pada tim kesayangan.
Dan saya termasuk salah satu suporter yang demikian itu. Untuk lingkup nasional, karena saya memiliki darah Jawa Timur dari Bapak dan pernah menikmati masa kecil di sana. Tepatnya di Surabaya. Tentu klub sepak bola yang saya dukung adalah PERSEBAYA SURABAYA. Dan tim nasional tentunya.
Bonek sebutan bagi suporter Persebaya. Pada era kejayaannya di masa liga sepak bola masih bernama perserikatan. Saya tak pernah melewatkan bertandang ke stadion jika Persebaya bertanding di Jakarta. Ada kepuasan tersendiri jika bisa hadir di stadion dan memberikan dukungan secara langsung.
Ada perasaan gembira jika tim yang kita dukung meraih kemenangan. Begitu tim kesayangan dikalahkan musuh, ada sedih dan kecewa juga yang terasakan di hati. Apalagi ketika tim kesayangan dicurangi wasit atau pemain lawan. Maka darah ini ikut bergolak. Marah. Wajar jika di luar stadion terjadi bentrokan antar suporter. Ini bentuk pembelaan kita terhadap tim yang dicintai. Saya pernah berada diposisi seperti itu. Dan pernah merasakan suasana kekacauan di luar dan di dalam stadion. Dulu.
Setelah laga perserikatan diganti menjadi liga Indonesia. Dan klub-klub sepak bola banyak bermunculan. Juga perseteruan antar suporter sudah menjurus ke arah kriminal. Saya pun sudah tidak seantusias dulu untuk datang ke stadion. Cukup mendukung dari layar kaca.
Tetapi bukan berarti kecintaan saya terhadap sepak bola berkurang. Tidak. Hanya dalam bentuk berbeda. Salah satunya ketika sedang melakukan perjalanan ke suatu daerah, maka sebisa mungkin tempat yang tidak boleh dilewatkan adalah mendatangi stadion. Ini menjadi salah satu bukti kecintaan saya terhadap sepak bola.
Dan perjalanan yang tak terlupakan adalah ketika saya akhirnya bisa melihat secara langsung stadion yang sangat legendaris di Surabaya. Yaitu Gelora 10 November Surabaya. Wow! Tak bisa dilukiskan perasaan saya ketika berada di sini. Senang, seru dan terharu. Sebab sejak kecil kerap berteriak-teriak mendukung tim Persebaya. Tapi setelah dewasa baru bisa menjejakkan kaki lagi di sini. Di markas Persebaya.
Waktu itu kami (saya dan keluarga) menghadiri acara keluarga di Surabaya. Karena sudah puluhan tahun tidak pernah ke sana, maka moment acara keluarga itu sekalian kami jadikan ajang liburan. Dua hari sebelum hari H kami sengaja tiba lebih dulu agar bisa keliling Surabaya. Rencana awal sih backpackeran. Jadi kemana-mana inginnya naik angkutan umum.
Tapi rencana tinggal rencana. Pergi beramai-ramai itu resikonya harus ada kata mufakat. Ditambah sulitnya mencari angkutan umum. Jadi ada yang tak sabar menunggu bahkan sempat tak ingin ikut jalan-jalan. Akhirnya diputuskan naik taksi untuk keliling kota.
Masing-masing menyebutkan destinasi yang ingin dituju. Dan saya tentu saja ingin ke stadion Gelora 10 November itu. Awalnya nyaris batal. Karena letaknya agak jauh dari posisi kami saat itu. Ditambah arah ke sana macet menurut pak sopir. Tapi mengingat itu tempat yang menjadi impian saya sejak kecil, maka tanpa mempedulikan harga taksi. Saya putuskan tetap lanjut.
Karena sudah pulluhan tahun meninggalkan Surabaya dan menjadi warga Tangerang. Jadi kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Maka begitulah. Setelah terkena macet berjam-jam dan melonjaknya argo taksi yang membuat kantong terkuras, saya pun bisa menyaksikan kemegahan dan keangkeran stadion Gelora 10 November.
Tak apa harus berkorban seperti itu. Namanya juga suka. Apalagi stadion Gelora 10 November kini sudah tidak dijadikan arena bertanding lagi. Sudah dialihkan ke stadion Bung Tomo. Tentu ini menjadi kenangan tak terlupakan. Meski sudah menjadi warga Tangerang, darah yang mengalir di tubuh saya adalah darah Jawa Timur. Maka Surabaya tetap kota kenangan. Selamanya.
Larindah, 20 Oktober 2017
#ODOPOKT17
#JelajahStadion
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post (ODOP) yang diselenggarakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.
Ada perasaan gembira jika tim yang kita dukung meraih kemenangan. Begitu tim kesayangan dikalahkan musuh, ada sedih dan kecewa juga yang terasakan di hati. Apalagi ketika tim kesayangan dicurangi wasit atau pemain lawan. Maka darah ini ikut bergolak. Marah. Wajar jika di luar stadion terjadi bentrokan antar suporter. Ini bentuk pembelaan kita terhadap tim yang dicintai. Saya pernah berada diposisi seperti itu. Dan pernah merasakan suasana kekacauan di luar dan di dalam stadion. Dulu.
Setelah laga perserikatan diganti menjadi liga Indonesia. Dan klub-klub sepak bola banyak bermunculan. Juga perseteruan antar suporter sudah menjurus ke arah kriminal. Saya pun sudah tidak seantusias dulu untuk datang ke stadion. Cukup mendukung dari layar kaca.
Tetapi bukan berarti kecintaan saya terhadap sepak bola berkurang. Tidak. Hanya dalam bentuk berbeda. Salah satunya ketika sedang melakukan perjalanan ke suatu daerah, maka sebisa mungkin tempat yang tidak boleh dilewatkan adalah mendatangi stadion. Ini menjadi salah satu bukti kecintaan saya terhadap sepak bola.
Dan perjalanan yang tak terlupakan adalah ketika saya akhirnya bisa melihat secara langsung stadion yang sangat legendaris di Surabaya. Yaitu Gelora 10 November Surabaya. Wow! Tak bisa dilukiskan perasaan saya ketika berada di sini. Senang, seru dan terharu. Sebab sejak kecil kerap berteriak-teriak mendukung tim Persebaya. Tapi setelah dewasa baru bisa menjejakkan kaki lagi di sini. Di markas Persebaya.
Waktu itu kami (saya dan keluarga) menghadiri acara keluarga di Surabaya. Karena sudah puluhan tahun tidak pernah ke sana, maka moment acara keluarga itu sekalian kami jadikan ajang liburan. Dua hari sebelum hari H kami sengaja tiba lebih dulu agar bisa keliling Surabaya. Rencana awal sih backpackeran. Jadi kemana-mana inginnya naik angkutan umum.
Tapi rencana tinggal rencana. Pergi beramai-ramai itu resikonya harus ada kata mufakat. Ditambah sulitnya mencari angkutan umum. Jadi ada yang tak sabar menunggu bahkan sempat tak ingin ikut jalan-jalan. Akhirnya diputuskan naik taksi untuk keliling kota.
Masing-masing menyebutkan destinasi yang ingin dituju. Dan saya tentu saja ingin ke stadion Gelora 10 November itu. Awalnya nyaris batal. Karena letaknya agak jauh dari posisi kami saat itu. Ditambah arah ke sana macet menurut pak sopir. Tapi mengingat itu tempat yang menjadi impian saya sejak kecil, maka tanpa mempedulikan harga taksi. Saya putuskan tetap lanjut.
Karena sudah pulluhan tahun meninggalkan Surabaya dan menjadi warga Tangerang. Jadi kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Maka begitulah. Setelah terkena macet berjam-jam dan melonjaknya argo taksi yang membuat kantong terkuras, saya pun bisa menyaksikan kemegahan dan keangkeran stadion Gelora 10 November.
Tak apa harus berkorban seperti itu. Namanya juga suka. Apalagi stadion Gelora 10 November kini sudah tidak dijadikan arena bertanding lagi. Sudah dialihkan ke stadion Bung Tomo. Tentu ini menjadi kenangan tak terlupakan. Meski sudah menjadi warga Tangerang, darah yang mengalir di tubuh saya adalah darah Jawa Timur. Maka Surabaya tetap kota kenangan. Selamanya.
Larindah, 20 Oktober 2017
#ODOPOKT17
#JelajahStadion
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post (ODOP) yang diselenggarakan oleh Blogger Muslimah Indonesia.
Salam satu nyali!
BalasHapus