Pagi itu suasana situ nampak masih redup. Kabut pagi yang menyelimuti situ dinginnya terasakan dikulit. Mentari pagi belum lagi menampakkan diri. Namun geliat kehidupan sudah mulai terasa. Gerobak pedagang kaki lima didorong perlahan menuju titik yang dituju pemiliknya. Seorang ibu paruh baya juga terlihat berjalan menuju situ. Dengan memanggul bakul di punggung ia terlihat gagah.
Situ Gintung pagi hari (dokpri)
Dengan sigap si ibu pembawa bakul tadi menata isi bakulnya, dititik yang ia tuju. Rupanya ia menggelar dagangannya di sana. Dari arah lain tampak lelaki muda sedang memarkir sepeda motornya. Ia dengan pakaian olah raga lengkap, nampak mengamati sekeliling. Ketika ia rasa sepeda motornya terparkir dengan aman, ia segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menghirup udara pagi yang sejuk.
Suasana di sekitar Situ Gintung (dokpri)
Sesaat ia terlihat menggerakkan kepala, tangan dan kaki. Menggambil posisi pemanasan. Setelah itu ia berlari-lari kecil dipinggiran situ. Untuk selanjutnya menghilang dari pandangan. Perlahan namun pasti suasana situ mulai terlihat terang. Meski mentari belum juga menjembul.
Hamparan air yang menggenangi situ seluas 21,4 ha itu nampak jelas terlihat. Para pedagang yang menggelar dagangannya dipinggiran situ mulai berdatangan. Ada penjual mie ayam, penjual bubur ayam, bakul pecel dan tak ketinggalan penjual minuman. Rombongan muda-mudi, pasangan oma-opa dan sebuah keluarga dengan dua anak terlihat mendatangi situ. Ya, inilah suasana minggu pagi ditanggul Situ Gintung.
Banyak warga yang datang ke situ saat hari minggu pagi. Ada yang berolah raga, ada yang memancing, ada yang jala-jalan sambil foto selfie. Dan ada yang hanya duduk-duduk sambil berkeredong sarung. Ini sudah dipastikan warga sekitar situ. Sebuah pemandangan yang khas suasana pagi. Di sebuah tempat hasil dari dampak positif suatu peristiwa pilu tujuh tahun silam.
Ya, tujuh tahun silam. Tepatnya tanggal 27 Maret 2009. Hari jum'at pukul 04.30 WIB, sesaat setelah azan subuh selesai berkumandang. Tanggul Situ Gintung jebol secara tiba-tiba. Tanpa ada tanda-tanda dan tanpa diduga oleh siapa pun. Semua seperti mimpi. Mimpi buruk di pagi hari.
Tanggul Situ Gintung nampak dari bawah (dokpri)
Sekitar 2,1 juta liter kubik air situ tumpah bak air bah. Menyapu semua yang dilaluinya. Menelan korban jiwa dan harta benda yang tak sedikit. Hanya satu bangunan yang tetap kokoh berdiri. Yakni Masjid Jabalurrahmah. Sebuah masjid yang letaknya persis di bawah tanggul. Indonesia pun menangis atas tragedi yang terjadi di pagi buta tersebut.
Masjid yang tetap kokoh saat musibah melanda (dokpri)
"Ini teguran dari Tuhan!" ungkap salah seorang warga.
"Sebab lokasi situ kerap dijadikan tempat mesum oleh muda-mudi yang berpacaran di sana," lanjut warga tersebut.
Apa pun alasannya, musibah sudah terjadi. Tugas selanjutnya adalah introspeksi diri. Baik warga mau pun pemerintah. Selalu ada hikmah dibalik musibah.
Jika menelisik lebih jauh, kondisi tanggul sesungguhnya sudah sangat tua. Tanggul Situ Gintung yang terletak didaerah Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia, dibangun tahun 1932-1933. Tanpa pernah sekali pun ada perbaikan atau pemugaran. Situ Gintung sendiri merupakan situ buatan yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda. Fungsinya untuk menampung air hujan dan mengairi ladang-ladang pertanian disekitarnya.
Namun seiring berjalannya waktu ladang-ladang tersebut berubah menjadi pemukiman warga. Lokasi situ yang posisinya berada di atas pemukiman,d debit air yang terus menerus meningkat akibat curah hujan, tentu saja membuat tanggul jebol. Dan terjadilah semua itu.
Tugu peringatan jebolnya tanggul Situ Gintung (dokpri)
Kini tanggul Situ Gintung sudah diperbaiki dan ditata apik pasca bencana. Sebuah tugu dibangun di sana, untuk mengenang tragedi jebolnya tanggul. Warga pun bisa menikmati keindahan situ setiap saatnya. Masjid Jabalurrahma masih tetap berdiri kokoh di sana. Menatap mentari pagi setiap harinya. Sebagai saksi bisu kekuasaan Tuhan. (EP)
Komentar
Posting Komentar