Bagi sebagian orang mendengar kata Baduy mungkin biasa saja. Tapi bagi saya, Suku Baduy merupakan sebuah pesona dan keagungan tersendiri. Bagaimana tidak? Suku yang mendiami Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia ini mampu menjaga tradisi, jauh dari modernisasi sampai sekarang. Hal itu saya saksikan dan rasakan sediri saat berada di perkampungan Baduy Dalam tahun 2012.
Dokumen pribadi
Sebuah pengalaman yang luar biasa dalam hidup saya. Bertemu orang Baduy, berinteraksi dengan mereka dan merasakan hidup bersama mereka. Sebuah suku yang selama ini hanya saya ketahui cerita kehidupan mereka melalui bacaan. Rasanya masih tidak percaya saya bisa berada di perkampungan mereka. Sebab semua itu awalnya hanya sebuah khayalan seorang anak, efek dari membaca buku. Dua puluh tiga tahun silam.
Ya, dua puluh tiga tahun silam saat saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saya begitu terkesima saat guru sejarah menerangkan tentang kehidupan Suku Baduy terutama Baduy Dalam, yang mengisolasi diri dari kehidupan luar. Mereka tidak memakai pakaian seperti masyarakat pada umumnya. Tidak memakai sabun mandi dan sabun cuci. Tidak memakai pasta gigi dan juga wewangian.
Mereka memakai segala sesuatu yang berasal dari alam. Tidak menggunakan listrik, jadi tentu saja tidak ada televisi atau radio. Benar-benar seperti kehidupan jaman primitif. Zaman yang belum mengenal peradaban. Tapi kehidupan seperti itu masih ada dan di jalani oleh Suku Baduy Dalam sampai sekarang, di era globalisasi. Perasaansaya ketika itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, saat pertama kali bertemu pemuda Suku Baduy Luar.
Bersama pemuda Baduy luar (dokumen pribadi)
Suku Baduy terbagi menjadi dua. Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Suku yang benar-benar mengisolasi diri dari dunia luar adalah Suku Baduy Dalam. Sedangkan Suku Baduy Luar masih menerima beberapa cara kehidupan dunia luar. Hal tersebut bisa dibedakan dari cara berpakaian mereka. Suku Baduy Luar sudah biasa memakai kaos atau kemeja. Tapi Suku Baduy Dalam masih berpakaian serba hitam atau serba putih, dengan ciri khas ikat kepala sebagai pelengkap.
Bersama salah satu pemuda Suku Baduy Luar, saya dengan rombongan menuju perkampungan Baduy Dalam. Dengan berjalan kaki perjalanan akan menempuh waktu antara 3-4 jam dari batas desa. Di batas desa yang merupakan pemberhentian terakhir kendaraan, saya melihat beberapa pemuda dengan pakaian hitam-hitam dan ikat kepala.
"Hey, itukah orang-orang Baduy Dalam!" pekik saya dalam hati.
Tidak seseram yang dibayangkan orang-orang. Mereka pemuda-pemuda yang cukup menarik. Meski pun tidak semua bisa berbahasa Indonesia (Suku Baduy menggunakan bahasa Sunda) tapi senyum terkembang yang mereka berikan, cukup mewakili keramahan dan penerimaan mereka terhadap orang luar. Mereka akan mendampingi kami menuju perkampungan Baduy Dalam. Adalah Sanib yang menjadi pendamping saya dalam perjalanan.
Bersama pemuda Baduy dalam yang menjadi pendamping kami (dokpri)
Sanib adalah salah satu pemuda Suku Baduy Dalam yang cukup fasih berbahasa Indonesia. Sebab ia sering pergi ke batas desa untuk berbelanja atau sekedar main. Bahkan ia pernah pergi ke Jakarta. Dengan berjalan kaki tentunya. Karena memang Suku Baduy Dalam di larang memakai kendaraan di mana pun. Itu merupakan aturan adat yang jika di langgar akan mendapatkan sanksi.
Melalui cerita Sanib saya jadi tahu kalau status sosial Suku Baduy Dalam bisa di lihat dari seberapa banyak lumbung padi yang dimiliki. Jika lebih dari satu bisa dikatakan keluarga yang berkecukupan. Dan dari Sanib juga saya jadi tahu kalau orang-orang Suku Baduy Dalam itu tidak memakai pakaian dalam...hehehe...Pertanyaan iseng dari saya yang di jawab malu-malu oleh Sanib. Ia juga mengatakan bahwa Suku Baduy tidak sepenuhnya seperti yang di ceritakan orang. Mereka ada yang memiliki hp, hanya saja tidak digunakan dalam wilayah yang dianggap terlarang.
Suku Baduy sangat patuh terhadap peraturan adat. Meski pun mereka sedang berada di luar perkampungan. Hal itu yang dilakukan ayah Sanib saat ingin mengetahui tentang gedung sate yang berada di Bandung. Ia berjalan kaki selama beberapa hari, pergi dan pulang. Sebuah cerita yang luar biasa bagi saya sebab mendengar langsung dari orang Suku Baduy itu.
Tak terasa perjalanan akan segera sampai di tujuan. Perkampungan Baduy Dalam. Jalan setapak, rindangnya pepohonan dan sungai-sungai kecil yang di lewati merupakan pemandangan yang tersaji di sana. Sebelum berpisah Sanib memberi saya sebongkah gula aren sebagai kenang-kenangan. Hanya sebongkah gula aren. Tapi itu membuat saya terharu. Sebab ia sangat senang dengan pertemanan yang singkat ini. Dan entah kapan bisa bertemu lagi. Oh, peristiwa yang tak akan terlupakan dalam hidup saya. Bisa diterima dengan baik oleh pemuda Suku Baduy Dalam.
Gula aren kenang-kenangan dari pemuda Baduy Dalam (dokpri)
Orang-orang Suku Baduy Dalam ternyata sangat ramah. Mereka menyambut kedatangan orang luar dengan senyum dan tangan terbuka. Menginap di salah satu rumah penduduk Suku Baduy Dalam rasanya seperti mimpi. Di dalam rumah panggung, beratapkan jerami, beralaskan tikar tanpa listrik dan jauh di dalam hutan. Hanya bulan dan bintang yang bisa di lihat, serta suara jangkrik dan hewan lain yang terdengar.Sungguh sesuatu sekali. Tidak semua bisa merasakan pengalaman ini. Dan saya salah satu yang beruntung.
Bisa mandi di sungai yang airnya masih jernih dan sangat dingin, tanpa sabun, tanpa pasta gigi dan tanpa busana bersama perempuan- perempuan Baduy adalah cerita indah dan anugerah terindah dalam hidup saya. Ternyata benarlah yang di katakan pepatah "Bermimpilah setiynggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya. Bisa jadi salah satu mimpi itu akan diamiiiinkan oleh malaikat." Dan ya, mimpi kanak-kanak saya pun akhirnya terwujud. Tidak ada yang tidak mungkin selama masih di dunia. (EP)
Kenangan Juli 2012
Komentar
Posting Komentar